Situs Batu Kujang I dan II,Sukabumi
Kampung Tenjolaya Girang, Desa Cisaat, Kecamatan Cicurug
Naiklah ke Lereng Gunung Salak yang yang bergelombang menuju sebuah situs, di mana Anda akan melalui Kampung Tenjolaya sebelum melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke sebuah situs pada ketinggian 800 meter dpl. Di tengah sejuknya udara setempat, Anda akan melihat sebuah situs yang dibatasi struktur batu sehingga lahan ini membentuk punden berundak. Bentuk lahannya terbagi menjadi dua, dengan bagian pertama yang terletak di bagian timur situs dan bagian kedua di bagian barat situs. Kedua bagian itu dibatasi oleh tanggul batu.
Di situs ini terdapat puluhan menhir yang berukuran cukup besar. Namun begitu, penemuan yang paling penting ada di teras keempat atau yang tertinggi, di mana terdapat struktur batu melingkar berdiameter 2 m yang di tengahnya terdapat menhir dengan bentuk menyerupai kujang setinggi 208 cm, yang oleh masyarakat setempat disebut Batu Kujang. Di sebelah timur batu kujang terdapat menhir berukuran tinggi 52 cm. Di teras ini pula terdapat batu alam berjajar. Tinggalan lain di teras ini adalah batu jolang berukuran 180 cm x 107 cm dengan kedalaman lubang 14 cm.
Yang lebih unik, di lokasi ini juga terdapat batu alam berukuran 180 cm x 75 cm yang oleh masyarakat disebut batu maya.
Di area situs ditemukan sejumlah batu menhir dan dolmen yang tersebar di atas punden berundak. Di sisi selatan punden ini ditemukan struktur batu menyerupai anak tangga yang diduga sebagai jalan masuk utama ke kompleks pemujaan ini.
Pada teras tertinggi, di atas struktur susunan batu melingkar berdiameter 6 m, terdapat menhir setinggi 2,08 m dengan ketebalan 17 cm. Menhir ini menyerupai kujang yang berdiri tegak dengan lebar bagian atas 8 cm, bagian tengah 66 cm, dan bagian bawah 44 cm.
Sejumlah ahli arkeologi menduga bahwa tidak tertutup kemungkinan bahwa bentuk kujang yang kini menjadi senjata khas masyarakat Sunda diambil dari bentuk peninggalan ini. Dugaan itu berdasarkan sejumlah peninggalan di sekitar Batu Kujang yang menyerupai senjata tajam masa kini seperti mata bajak, kapak, dan sabit.
Dua teras di bawah Batu Kujang misalnya, terdapat tiga batu menhir berbentuk pipih dan tajam di bagian atas. Sebuah batu menhir setinggi 130 cm diapit oleh dua batu menhir yang masing-masing setinggi 53 cm dan 89 cm. Dari kejauhan, ketiga menhir ini berbentuk seperti mata trisula yang tertancap di sisi selatan punden.
Kuatnya pengaruh legenda Prabu Siliwangi membuat masyarakat sekitar percaya bahwa Batu Kujang merupakan simbol dari tokoh legendaris itu. Bahkan, tempat ini disebut-sebut sebagai salah satu basis pertahanan Sang Prabu dengan patih dan prajuritnya. Meski demikian dalam penelitian arkeologi, di sekitar situs ini tidak ditemukan perkakas yang menandai adanya perkampungan pada masa itu.
Hingga kini, keberadaan situs ini masih diteliti oleh Balai Arkeologi Bandung. Berdasarkan penelitian, Situs Batu Kujang adalah satu dari puluhan situs peninggalan masa megalitik yang terserak di lereng perbukitan Gunung salak.
Kisah..
Dahulu kala, sekitar 80 M, di kaki gunung Salak bagian Utara tersebutlah sebuah padepokan yang dihuni oleh puluhan Resi. Selain tempat tinggal, padepokan itu juga menjadi tempat bagi para pembesar di kerajaan Paran Siliwangi (cikal bakal kerajaan Taruma Negara dan Padjajaran) meminta masukan dan nasehat tentang urusan kenegaraan.
Peran para Resi jika diperbandingkan dengan kehidupan modern sekarang ini adalah seperti DPR. Ia menjalankan fungsi legislatif. Sedangkan yang menjalankan peran eksekutif adalah golongan pembesar yang biasa disebut Prabu. Ada satu lagi golongan yaitu Shanghyang. Para shanghyang adalah hakim yang menjalankan fungsi Yudikatif.
Singkatnya; Prabu, Resi dan Shaghyang adalah gambaran awal trias politika yang dicetuskan Montesque.
Suatu ketika, para Resi di kaki gunung Salak bagian utara kedatangan tamu agung pemimpin para Shanghyang, yaitu Shanghyang Nagandini. Sang Nagandini membawa tiga bayi mungil. Nagandini bermaksud menitipkan ketiga anaknya itu untuk dididik oleh para Resi yang bijaksana.
Para Resi menerima permintaan Nagandini dengan suka cita. Mereka pun membuat sebuah bak air dengan memahat batu untuk memandikan dan menyucikan ketiga anak itu. para Resi pun memberi nama ketiga anak itu; Taji Malela, Surya Kencana dan Balung Tunggal. Kelak ketiga anak itu akan menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Sunda dalam naungan kerajaan Padjajaran.
Sementara Shanghyang Nagandini meninggalkan monumen pahatan Kudjang bagi ketiga anaknya. Kudjang adalah senjata khas rakyat Sunda yang mempunyai nilai filosofi transendental tinggi. Bahwa sebagian percaya bahwa bentuk Kudjang adalah pengejawantahan dari bentuk huruf Tuhan. Nilai filosofinya, siapa yang mencabut Kudjang maka dia akan ingat Tuhan dan urung menggunakan Kudjang sebagai senjata. Itulah mengapa Kudjang tidak pernah dikenal sebagai senjata, melainkan hanya sebuah status.
Batu Jolang adalah sebuah situs peninggalan nenek moyang orang Sunda dari tahun 80 M. Jolang berarti bak air (digunakan untuk memandikan ketiga bayi Nagandini). Sedangkan situs lainnya adalah tugu Kudjang yang dari bentuk pahatannya diperkirakan lebih tua dibandingkan dengan tugu Kudjang di situs Batu Tulis (Bogor).
Hingga kini, tidak banyak bukti historis yang bisa disajikan baik pemerintah (Dinas Pariwisata Sukabumi) maupun para arkeolog. Karena situs itu belum seksama ditelaah. Padahal melihat lokasinya, potensi situs itu sangat bagus untuk pariwisata. Belum lagi nilai filosofinya yang tinggi. Terbukti dari sepenggal cerita rakyat (folklore) di atas.
Kampung Tenjolaya Girang, Desa Cisaat, Kecamatan Cicurug
Naiklah ke Lereng Gunung Salak yang yang bergelombang menuju sebuah situs, di mana Anda akan melalui Kampung Tenjolaya sebelum melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki ke sebuah situs pada ketinggian 800 meter dpl. Di tengah sejuknya udara setempat, Anda akan melihat sebuah situs yang dibatasi struktur batu sehingga lahan ini membentuk punden berundak. Bentuk lahannya terbagi menjadi dua, dengan bagian pertama yang terletak di bagian timur situs dan bagian kedua di bagian barat situs. Kedua bagian itu dibatasi oleh tanggul batu.
Di situs ini terdapat puluhan menhir yang berukuran cukup besar. Namun begitu, penemuan yang paling penting ada di teras keempat atau yang tertinggi, di mana terdapat struktur batu melingkar berdiameter 2 m yang di tengahnya terdapat menhir dengan bentuk menyerupai kujang setinggi 208 cm, yang oleh masyarakat setempat disebut Batu Kujang. Di sebelah timur batu kujang terdapat menhir berukuran tinggi 52 cm. Di teras ini pula terdapat batu alam berjajar. Tinggalan lain di teras ini adalah batu jolang berukuran 180 cm x 107 cm dengan kedalaman lubang 14 cm.
Yang lebih unik, di lokasi ini juga terdapat batu alam berukuran 180 cm x 75 cm yang oleh masyarakat disebut batu maya.
Di area situs ditemukan sejumlah batu menhir dan dolmen yang tersebar di atas punden berundak. Di sisi selatan punden ini ditemukan struktur batu menyerupai anak tangga yang diduga sebagai jalan masuk utama ke kompleks pemujaan ini.
Pada teras tertinggi, di atas struktur susunan batu melingkar berdiameter 6 m, terdapat menhir setinggi 2,08 m dengan ketebalan 17 cm. Menhir ini menyerupai kujang yang berdiri tegak dengan lebar bagian atas 8 cm, bagian tengah 66 cm, dan bagian bawah 44 cm.
Sejumlah ahli arkeologi menduga bahwa tidak tertutup kemungkinan bahwa bentuk kujang yang kini menjadi senjata khas masyarakat Sunda diambil dari bentuk peninggalan ini. Dugaan itu berdasarkan sejumlah peninggalan di sekitar Batu Kujang yang menyerupai senjata tajam masa kini seperti mata bajak, kapak, dan sabit.
Dua teras di bawah Batu Kujang misalnya, terdapat tiga batu menhir berbentuk pipih dan tajam di bagian atas. Sebuah batu menhir setinggi 130 cm diapit oleh dua batu menhir yang masing-masing setinggi 53 cm dan 89 cm. Dari kejauhan, ketiga menhir ini berbentuk seperti mata trisula yang tertancap di sisi selatan punden.
Kuatnya pengaruh legenda Prabu Siliwangi membuat masyarakat sekitar percaya bahwa Batu Kujang merupakan simbol dari tokoh legendaris itu. Bahkan, tempat ini disebut-sebut sebagai salah satu basis pertahanan Sang Prabu dengan patih dan prajuritnya. Meski demikian dalam penelitian arkeologi, di sekitar situs ini tidak ditemukan perkakas yang menandai adanya perkampungan pada masa itu.
Hingga kini, keberadaan situs ini masih diteliti oleh Balai Arkeologi Bandung. Berdasarkan penelitian, Situs Batu Kujang adalah satu dari puluhan situs peninggalan masa megalitik yang terserak di lereng perbukitan Gunung salak.
Kisah..
Dahulu kala, sekitar 80 M, di kaki gunung Salak bagian Utara tersebutlah sebuah padepokan yang dihuni oleh puluhan Resi. Selain tempat tinggal, padepokan itu juga menjadi tempat bagi para pembesar di kerajaan Paran Siliwangi (cikal bakal kerajaan Taruma Negara dan Padjajaran) meminta masukan dan nasehat tentang urusan kenegaraan.
Peran para Resi jika diperbandingkan dengan kehidupan modern sekarang ini adalah seperti DPR. Ia menjalankan fungsi legislatif. Sedangkan yang menjalankan peran eksekutif adalah golongan pembesar yang biasa disebut Prabu. Ada satu lagi golongan yaitu Shanghyang. Para shanghyang adalah hakim yang menjalankan fungsi Yudikatif.
Singkatnya; Prabu, Resi dan Shaghyang adalah gambaran awal trias politika yang dicetuskan Montesque.
Suatu ketika, para Resi di kaki gunung Salak bagian utara kedatangan tamu agung pemimpin para Shanghyang, yaitu Shanghyang Nagandini. Sang Nagandini membawa tiga bayi mungil. Nagandini bermaksud menitipkan ketiga anaknya itu untuk dididik oleh para Resi yang bijaksana.
Para Resi menerima permintaan Nagandini dengan suka cita. Mereka pun membuat sebuah bak air dengan memahat batu untuk memandikan dan menyucikan ketiga anak itu. para Resi pun memberi nama ketiga anak itu; Taji Malela, Surya Kencana dan Balung Tunggal. Kelak ketiga anak itu akan menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Sunda dalam naungan kerajaan Padjajaran.
Sementara Shanghyang Nagandini meninggalkan monumen pahatan Kudjang bagi ketiga anaknya. Kudjang adalah senjata khas rakyat Sunda yang mempunyai nilai filosofi transendental tinggi. Bahwa sebagian percaya bahwa bentuk Kudjang adalah pengejawantahan dari bentuk huruf Tuhan. Nilai filosofinya, siapa yang mencabut Kudjang maka dia akan ingat Tuhan dan urung menggunakan Kudjang sebagai senjata. Itulah mengapa Kudjang tidak pernah dikenal sebagai senjata, melainkan hanya sebuah status.
Batu Jolang adalah sebuah situs peninggalan nenek moyang orang Sunda dari tahun 80 M. Jolang berarti bak air (digunakan untuk memandikan ketiga bayi Nagandini). Sedangkan situs lainnya adalah tugu Kudjang yang dari bentuk pahatannya diperkirakan lebih tua dibandingkan dengan tugu Kudjang di situs Batu Tulis (Bogor).
Hingga kini, tidak banyak bukti historis yang bisa disajikan baik pemerintah (Dinas Pariwisata Sukabumi) maupun para arkeolog. Karena situs itu belum seksama ditelaah. Padahal melihat lokasinya, potensi situs itu sangat bagus untuk pariwisata. Belum lagi nilai filosofinya yang tinggi. Terbukti dari sepenggal cerita rakyat (folklore) di atas.
Sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=4096024137548&set=t.100000778295842&type=3&theater