Hari itu, langit pagi masih kelabu ketika kami berkumpul di titik awal pendakian menuju Curug Cibeureum. Lima orang dengan latar belakang berbeda: Pak Awal si navigator ulung, Pak Asep Odang yang humoris tapi cepat lelah, Pak Willy sang pendaki berpengalaman, Pak Arman yang tenang namun gigih, dan aku—yang dulu dikenal sebagai pejalan kaki tangguh, tapi kini berjuang melawan pinggang yang tiba-tiba kambuh.
Awal Petualangan: Semangat yang Menggebu
Perjalanan dimulai dengan canda dan tawa. Jalur awal masih landai, dikelilingi rimbunnya hutan dan gemericik sungai kecil. Pak Asep bercerita lucu tentang pengalamannya tersesat di gunung, sementara Pak Willy memimpin dengan langkah mantap. Aku masih bisa mengikuti, meski sesekali terasa cenat-cenut di pinggang. "Ah, nanti juga hilang," batinku.
Tantangan Dimulai: Medan Menanjak dan Tubuh yang Mulai Berontak
Setelah satu jam berjalan, jalur mulai menanjak tajam. Batu-batu licin dan akar pohon yang menjulang membuat langkah semakin berat. Pak Asep Odang mulai terengah-engah, wajahnya memerah. "Ini tanjakan setan!" keluhnya sambil menahan lutut yang sudah gemetar.
Aku sendiri merasakan nyeri di pinggang semakin menjadi. Otot-otot seperti ditarik paksa, setiap langkah terasa seperti ditusuk jarum. Padahal dulu, aku bisa mendaki gunung tanpa henti. "Apa karena usia? Atau karena kurang olahraga akhir-akhir ini?"
Pak Arman, yang memperhatikan wajahku yang mulai mengkerut, bertanya, "Kamu oke? Mukamu pucat."
"Pinggangku kambuh," aku mengakui, malu tapi tak bisa lagi dipungkiri.
Bantuan dari Sahabat: Ketika Satu Orang Lemah, Empat Lainnya Menopang
Pak Willy segera mengambil alih. "Kita istirahat dulu. Minum, makan sedikit."
Pak Awal mengeluarkan balsem dari tasnya. "Ini, olesin dulu."
Sementara Pak Asep Odang, meski kelelahan, malah mencairkan suasana. "Kalo aku sih mah, kambuhnya cuma kambuh dompet aja, hahaha!"
Mereka memaksaku beristirahat lebih lama, meski itu berarti perjalanan akan molor. Pak Arman bahkan menawarkan untuk membawakan tas kecilku. "Kita tim, gak ada yang boleh tertinggal."
Puncak Perjuangan: Langkah Terberat Menuju Air Terjun
Dengan pinggang yang nyaris tak bisa ditekuk, aku berjalan pelan, mengandalkan tongkat kayu yang ditemukan di jalan. Setiap tanjakan seperti mimpi buruk, tapi melihat teman-teman yang sabar menungguku, aku tak mau menyerah.
Pak Willy memimpin dari depan, memberi arahan jalur termudah. Pak Asep Odang yang tadi mengeluh, kini malah memompa semangat. "Ayo, dikit lagi! Kalo udah liat Curug Cibeureum, semua capek ilang!"
Destinasi Akhir: Kemenangan Kecil di Balik Lelah
Dan akhirnya… gemuruh air terjun menyambut kami. Curug Cibeureum menjulang indah, airnya jernih mengalir deras. Rasanya semua sakit dan lelah terbayar.
Kami duduk di bebatuan, menikmati bekal makan siang. Pak Awal tersenyum. "Perjalanan gak akan seru kalo gak ada drama, kan?"
Pak Asep Odang menambahkan, "Besok-besok, kita cari curug yang jalurnya lebih landai, ya. Biar si Pinggang gak komplain lagi!"
Aku tertawa, meski dalam hati sadar: usia dan fisik memang tak bisa dibohongi. Tapi yang lebih penting, kita punya teman yang siap menopang ketika tubuh mulai menyerah.
Perjalanan ini mungkin tak sempurna, tapi justru di situlah cerita terindah tercipta.
#CurugCibeureum #HikingBarengSobat #PinggangKambuhTapiSemangatNoSirna
