Sejuta Kabut

 Terima_Jalani_Nikmati_Syukuri

Angin berdesir pelan, membelai daun-daun yang bergoyang malas di atas kepala. Aku duduk di sebuah bangku kayu tua, di tengah hamparan kebun jeruk yang ranum, sambil memandang Gunung Gede yang megah menjulang di kejauhan. 

Salabintana, lembah sunyi ini, seperti pelukan yang menenangkan—tempat di mana waktu berjalan lebih lambat, dan kenangan datang tanpa diundang.

Di depan, kolam kecil memantulkan cahaya senja yang keemasan. Beberapa ekor ikan mas berenang malas, sesekali menyembul ke permukaan seperti ingin mencuri pandang. Aku teringat ayah, yang dulu suka duduk di tepian kolam seperti ini, mengajari aku kesabaran. "Lihat, ikan itu gak pernah buru-buru, Nak. Mereka tahu waktunya akan datang," katanya suatu sore, lama sekali. Sekarang, aku baru mengerti maksudnya. 

Aroma jeruk manis bercampur udara pegunungan yang sejuk. Di antara rimbun pohon, beberapa buah kuning keemasan bergelantungan, menggoda untuk dipetik. Aku tersenyum, membayangkan nenek yang dulu selalu menyimpan jeruk di lemari kayunya. Setiap kali aku berkunjung, dia akan menyodorkannya sambil berkata, "Ini, biar segar." Sekarang, setiap kali mencium wangi jeruk, aku seperti mendengar suaranya lagi. 

Dari balik pagar, seekor rusa mendekat, matanya hitam dan tenang. Ia mengendus-endus tanganku, mencari sesuatu. Aku mengulurkan potongan apel, dan ia menerimanya dengan lembut. Tiba-tiba, aku teringat sahabat lama, yang dulu selalu bercanda, "Kalo jadi rusa, aku mau yang di Salabintana. Santai, dikasih makan, terus bisa liat Gunung Gede tiap hari." Ia sudah pergi jauh—entah di mana—tapi di sini, rasanya ia masih ada.

Dan di sana, Gunung Gede berdiri gagah, diselimuti kabut tipis yang bergerak perlahan. Ia tak pernah berubah, tetap sama seperti dulu, ketika pertama kali aku datang dengan dia—orang yang pernah membuatku mengerti arti "tempat yang merasa seperti rumah." Kini, tinggal aku sendiri yang duduk di sini, tapi anehnya, aku tak merasa kesepian. Sebab di balik sunyi ini, ada bisik-bisik kenangan, tawa, dan pelukan yang ditinggalkan mereka.

Angin kembali berhembus, membawa dingin yang menyentuh kulit. Aku menarik napas dalam, menutup mata sejenak. Di sini, di lembah ini, waktu seperti berhenti. Aku bisa mendengar lagi suara mereka, melihat senyum mereka, merasakan kehangatan yang dulu.

Mungkin itu sebabnya aku selalu kembali ke Salabintana.
Bukan cuma untuk melihat gunung, tapi untuk bertemu dengan versi-versi diri dan mereka yang telah pergi, yang masih hidup di sini—di antara jeruk, rusa, dan desir angin.