"SAJAKKU TAK PERNAH DIAM"

Aku anak petani,

tangan kecil mencengkeram cangkul sebelum mengenal pensil.
Bumi sawah adalah buku pertamaku,
garis-garis lumpur adalah huruf-huruf yang kutulis dengan keringat.

Sekolah? Ah, itu kemewahan.
Sepatu bolong menyeret langkah di jalan berbatu,
tas kain usang berisi buku pinjaman.
Tapi di mataku, ada api yang tak mau padam.

Aku berlari di antara angka-angka utang,
melompati jerat ekonomi yang menjerat leher.
Ibu berbisik, "Jangan menyerah,"
sementara ayah memandangku dari balik layu padi yang tak kunjung dijual.

Lalu aku pergi—
kaki ini melangkah ke kota yang bising,
membawa mimpi seberat karung gabah.
Aku terjepit di antara mereka yang lahir dengan sendok perak,
tapi kupaksakan suaraku terdengar:
"Aku juga bisa!"

Dan di tengah debu perjuangan itu,
kau datang, si anak pramuka nan cantik jelita.
Senyummu seperti mentari di musim kemarau,
rambutmu ikal bagai akar padi yang lentik.

Kau rebutan banyak mata,
tapi kau memilih duduk di bangku kosong sebelahku,
mendengarkan sajak-sajak yang kutulis di kertas buram.
"Kau berbeda," katamu.
Dan untuk pertama kalinya,
aku merasa kaya.

Kini, sajakku tak pernah diam—
ia bergema dari sawah ke kampus,
dari sepatu bolong ke meja kayu tempat kau dan aku berjanji.
Aku masih anak petani,
tapi kini, aku juga pahlawan dalam ceritamu.